Kamis, 11 April 2013

" Hukum Menyewakan Tanah Pertanian "

Menyewakan Tanah Pertanian

MENYEWAKAN TANAH PERTANIAN

Oleh.
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA


PENDAHULUAN
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga dan sahabatnya.

Bercocok tanam adalah salah satu lapangan pekerjaan yang halal dan terbukti mendatangkan hasil. Bahkan hingga saat ini kelangsungan hidup umat manusia terus bergantung kepada hasil pertanian dan perkebunan. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berhasil digapai manusia belum mampu memberikan alternatif lain. Dan mungkin hingga Hari Kiamat kondisi ini akan terus berlangsung, hasil pertanian menjadi sumber kehidupan umat manusia. Allah Ta’ala telah mengisyaratkan akan fenomena ini dalam banyak ayat, di antaranya pada ayat berikut:

وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَٰلِكَ دَحَاهَا أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ

“Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” [An-Nazi’at : 30-33].


Fenomena ini menjadi bukti tersendiri akan betapa besarnya jasa para petani. Dengan menikmati hasil kerja keras mereka, umat manusia di dunia dapat mempertahankan hidupnya.

Berkat perannya yang senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat luas ini, para petani mendapatkan imbalan pahala yang tiada batas:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِ سُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلٌّ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْبَهِيْمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

“Tidaklah ada seorang muslim yang menanam satu pohon atau menanam tetumbuhan, lalu ada burung, atau manusia atau hewan ternak yang turut memakan hasil tanamannya, melainkan tanaman itu bernilai sedekah baginya.” [Riwayat Bukhori hadits no 2195 dan Muslim hadits no. 1552]


Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pada hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang keutamaan bercocok tanam dan betani. Pahala sorang petani terus mengalir hingga Hari Kiamat, selama pohon dan tumbuhan yang ia tanam atau kegunaannya masih bisa dimanfaatkan. Dan sebelumnya, para ulama juga telah berselisih pendapat tentang mata pencaharian yang paling bagus dan utama. Ada yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah perdagangan. Ada pula yang berpendapat bahwa perkerjaan paling utama ialah industri. Ada lagi yang mengatakan bahwa pertanian adalah yang paling utama, dan pendapat inilah yang lebih benar.” [Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 5/396]

                                            HUKUM MENYEWAKAN TANAH PERTANIAN
Jasa dan peran para petani beserta hasil kerjanya begitu penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk Anda. Karena itu, terwujudnya ketahanan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi bagian penting bagi terwujudnya kejayaan mereka.

Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa pada awal Islam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sahabatnya dari menyewakan ladang atau tanah pertanian. Mungkin salah satu hikmah yang dapat kita petik dari larangan itu ialah guna memeratakan ketahanan pangan. Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm 8/211, Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 2/179, dan Fat-hul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 5/24

Kondisi para sahabat, terlebih kaum Muhajirin pada awal hijrah ke kota Madinah, sangat memprihatinkan. Mereka berhijrah ke kota Madinah tanpa membawa serta harta kekayaannya. Kondisi ini tentu perlu disiasati dengan bijak dan hikmah, sehingga tidak berkepanjangan dan menimbulkan dampak sosial yang berat.

Guna menyiasati kondisi ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan beberapa hal, di antaranya dengan:

1. Melarang Penyewaan Ladang:

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَ غْهَا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَزْرَ عَهَا وَعَجَزَ عَنْهَا فَلْيَمْنَحْهَا أَخَاهُ الْمُسلِمَ وَلاَ يُؤَاجِرْهَاإِيَّاهُ

“Barang siapa memiliki sebidang tanah, maka hendaknya ia menggarap dan menanaminya. Dan bila ia tidak bisa menanaminya atau telah kerepotan untuk menanaminya, maka hendaknya ia memberikannya kepada saudaranya sesama muslim. Dan tidak pantas baginya untuk menyewakan tanah tersebut kepada saudaranya.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2215 dan Muslim hadits no. 1536]


2. Mensyari’atkan Kerja Sama Yang Saling Menguntungkan:
Hubungan kerja sama yang saling menguntungkan ini diwujudkan dalam bentuk musaqaah atau muzaraah. Melalui dua skema kerja sama ini, kaum Anshar mempekerjakan Muhajirin di ladang mereka, dan kemudian di saat musim panen tiba, mereka membagi hasilnya sesuai perjanjian. Adanya kerja sama ini nampak dengan jelas pada penuturan sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berikut ini:

قَالَتِ الأَنْصَارُ لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْسِم بَيْنَنَا وَ بَيْنَ إِخْوَانِنَاالنَّخِيلَ، قَالَ :لاَ فَقَالَوا : تَكْفُونَا الْمَئُونَةَ وَنُشْرِكُكُمْ فِى الشَّمَرَةِ، قَالُوا سَمِعْنَاوَأَطَعنَا

“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Bagilah ladang kurma kami menjadi dua bagian, satu bagian untuk kami dan yang lain untuk saudara-saudara kami Muhajirin.” Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab usulan ini dengan bersabda: Tidak. Lalu beliau menawarkan solusi lain melalui sabdanya:”Bila demikian, kalian mempercayakan kepada kami urusan ladang kalian, dan selanjutnya kami turut serta bersama kalian dalam menikmati hasilnya.” Spontan kaum Anshar menyambut tawaran beliau ini dan berkata: “Ya, kami mendengar dan patuh kepada petunjuk ini.” [Bukhari hadits no. 2200]

Demikianlah kondisi ini berlangsung hingga beberapa saat lamanya. Adapun setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat berhasil menundukkan musuh-musuhnya, maka terbukalah lahan pertanian yang melimpah ruah. Sejak saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganulir larangannya dan merestui penyewaan lahan pertanian. Walaupun hal kedua, yaitu kerja sama dengan skema musaqaah atau muzaraah tetap dibiarkan, karena solusi ini terus dibutuhkan adanya hingga akhir masa.

Walau demikian satu ketentuan yang hendaknya Anda indahkan ketika Anda hendak menyewakan ladang Anda. Ketentuan ini bertujuan menjaga tercapainya keadilan dan tranparasi dalam akad sewa menyewa ladang.

                         KEPASTIAN DAN KEJELASAN MASA SEWA DAN NILAI SEWA.
Sewa-menyewa termasuk ladang pertanian, sejatinya adalah bentuk pertukaran harta kekayaan. Karena itu kejelasan merupakan satu hal penting yang harus Anda wujudkan padanya. Semua itu demi menghindari perselisihan dan silang pemahaman antara kedua belah pihak. Dan dengan cara ini, masing-masing pihak mendapatkan haknya secara utuh tanpa ada yang terkurangi. Ketentuan ini merupakan aplikasi nyata dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli untung-untungan (gharar).” [Riwayat Muslim hadits no. 1513]


Nilai sewa atau masa sewa yang tidak jelas, menjadikan akad tersebut terlarang dalam Islam. Karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyewakan ladang dengan upah berupa bagian dari hasil ladang itu, yang nominal atau jumlahnya tidak dapat ditentukan.

حَنْظَلَةُ بْنُ قَيْسٍ الأَنْصَارِىُّ قَالَ سَأَلْتُ رَافِعَ بْنِ خَدِيْجٍ عَنْ كِرَاءِالأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَقَالَ لاَ بَأسَ بِهِ إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ وَأَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِفَيَهلِكُ هَذَاوَيَسْلَمُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهلِكُ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ، فَأَمَّا شَىْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلاَ بَأسَ بِهِ

Pada suatu hari, Hanzhalah bin Qais al-Anshari bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa berupa emas dan perak. Maka Rafi’ bin Khadij menjawab, “tidak mengapa. Dahulu semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masyarakat menyewakan ladang dengan uang sewa berupa hasil dari bagian ladang tersebut yang berdekatan dengan parit atau sungai, dan beberapa bagian hasil tanaman. Dan kemudian di saat panen tiba, ladang bagian ini rusak, sedang bagian yang lain selamat, atau bagian yang ini selamat, namun bagian yang lain rusak. Kala itu tidak ada penyewaan ladang selain dengan cara ini, maka penyewaan semacam ini dilarang. Adapun menyewakan ladang dengan nialai sewa yang pasti, maka tidak mengapa.”[Muslim hadits no. 1547]


Hadits ini menjelaskan ketentuan uang sewa:

1. Bila sewa ladang dengan uang baik dinar atau dirham atau uang lain yang serupa, maka insya Allah tidak mengapa.
2. Namun, bila uang sewa berupa hasil tanaman yang ditanam di ladang tersebut maka ada dua kemungkinan:

Kemungkinan Pertama: Uang sewa ditentukan dengan hasil ladang tertentu.
Misalnya penyewa atau pemilik ladang atau keduanya menyepakati bahwa hasil ladang bagian atas, atau yang dekat dengan parit adalah sebagai uang sewa. Kesepakatan semacam inilah yang dilarang dalam hadits Rafi’ bin Khadij di atas. Alasannya, bisa jadi tanaman di ladang tidak semuanya menghasilkan. Ada kemungkinan yang mengahasilkan hanya sebagian saja, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perselisihan, karena salah satu pihak merasa dirugikan. Wajar bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, demi menjaga keutuhan persatuan dan persaudaraan antara umat Islam.

Kemungkinan Kedua: Uang sewa ditentukan bentuk nisbah (persentase).
Bila uang sewa adalah bagian dari hasil ladang, dan nominalnya ditentukan dalam bentuk nisbah persentase tertentu dari hasil ladang maka akad semacam ini insya Allah tidak mengapa. Walau pun banyak dari ulama yang melarangnya, pendapat Imam Ahmad dan lainnya yang membolehkan akad ini lebih kuat, dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Hukum asal setiap akad adalah halal.
b. Tidak ada dalil yang melarang.
c. Akad ini, walaupun secara lahir adalah akad sewa-menyewa, sejatinya akad ini adalah akad musaqah atau muzaraah. Alasan ini berdasarkan satu kaidah dalam ilmu fiqih yang menjelaskan bahwa standar hukum suatu akad adalah substansi atau hakikatnya dan bukan sekedar teks dan ucapannya. [Al-Qawaid al-Kulliyyah wadh-Dhwabith al-Fiqhiyyah oleh Muhammad Utsman Syabir hlm.121]


Berdasarkan kaidah ini dapat kita simpulkan bahwa akad diatas, walaupun menggunakan kata-kata sewa dan uang sewa, secara hukum adalah akad musaqaah atau muzaraah.

Serupa dengan akad sewa ladang yang terlarang pada hadits ini adalah menyewakan lahan untuk dibangun suatu gedung perhotelan atau lainnya, sedang pada akad sewa tersebut disepakati bahwa bila masa sewa telah berlangsung 30 tahun- misalnya- maka gedung hotel beserta seluruh hasilnya menjadi hak pemilik lahan. Dengan demikian, selama 30 tahun pertama pemilik lahan tidak mendapatkan uang sewa, atau mendapatkannya namun dalam nominal yang relatif kecil.

Anda pasti sepakat bahwa tidak seorangpun tahu bagaimana kira-kira kondisi gedung setelah berlalu 10 tahun (apalagi 30 tahun, Red). Kondisi demikian dapat dipastikan rentan memancing munculnya sengketa dan silang pemahaman.

Solusi dari akad sewa semacam ini ialah degan menjadikan harga tanah sebagai bentuk penyertaan modal. Dengan demikian, kepemilikan hotel, gedung, dan tanahnya dimiliki bersama antara investor dan pemilik lahan. Segala keuntungan dibagi berdua sesuai dengan perjanjian dan persentase modal yang mereka sertakan. Dengan solusi ini, kejelasan dalam berbagai aspek akad dapat terwujud, sebagaimana kedua belah pihak berkewajiban menanggung risiko usaha sebesar persentase modalnya.

                     ANTARA MENYEWAKAN DAN MENGGADAIKAN LADANG
Diantara bentuk akad yang banyak dilakukan masyarakat, terlebih mansyarakat pedesaan, ialah menggadaikan lahan pertanian mereka. Berdasarkan akad ini mereka mendapatkan sejumlah piutang, dan sebagai konsekuensinya mereka menyerahkan ladangnya untuk digarap oleh kreditor. Sebagaimana pada saat jatuh tempo, debitor (penghutang) berkewaji ban mengembalikan utangnya dengan utuh tanpa dikurangi sedikit pun. Demikianlah gadai sawah atau ladang yang banyak dilakukan oleh masyarakat.

Akad gadai semacam ini, walaupun telah merajalela, bukan berarti akad ini tanpa masalah alias halal. Akad ini sejatinya adalah akad yang mengandung unsur riba, karena akad ini adalah akad piutang yang mendatangkan keuntungan, sehingga haram secara hukum syari’at.

Sahabat Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu anhu:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.” [Rriwayat al-Baihaqi 5/350]


Ucapan serupa juga ditegaskan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhum sebagaimana disebutkan oleh al-Baihaqi pada kitabnya di atas

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, diantaranya sahabat Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik.” [Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah 29/334]

Coba Anda renungkan: Debitur (penghutang) semasa masih menggarap ladangya ternyata mengalami kesulitan, sehingga berhutang. Tentu setelah ladangnya ia gadaikan, kondisinya semakin parah. Karena itu pada kenyataannya di masyarakat, orang-orang yang menggadaikan lahannya dengan cara semacam ini kesulitan untuk melunasi piutangnya, dan banyak dari mereka terpaksa menjual lahannya.

Kondisi semacam ini tentu tidak baik dan mengancam kerukunan masyarakat. Karena itu, pada kesempatan ini saya menawarkan dua solusi halal dan jauh dari riba:

Solusi Pertama: Akad Sewa
Menyewakan lahan kepada investor selama beberapa waktu, dapat menjadi alternatif pengganti akad gadai yang mengandung riba. Sebagai pemilik lahan, Anda dapat menyewakan lahan kepada orang lain (investor) dalam batas waktu tertentu, dengan uang sewa yang Anda inginkan dan disetujui oleh penyewa. Dengan hasil penyewaan ini Anda dapat memenuhi keburuhan Anda, tanpa harus terjerumus dalam praktik riba.

Solusi Kedua : Kerja Sama
Diantara solusi yang lebih adil dan jauh dari perselisihan ialah dengan menjalin kerja sama antara pemilik lahan dengan penggarap. Berdasarkan kerja sama ini kedua belah pihak berhak mendapatkan bagian dari hasil ladang sesuai dengan persentase yang disepakati. Dan sebaliknya bila ladang gagal menghasilkan, maka penggarap ladang bebas dari kewajiban apapun selain mengembalikan ladang kepada pemiliknya.

Akad kerja sama antara dua belah pihak ini dapat menggunakan skema musaqah bila ladang telah ditanami dengan tanaman yang dapat menghasilkan dalam jangka waktu panjang. Dengan skema kerja sama ini pengelola –biasanya- bertanggung jawab merawat tanaman dan kemudian memanen hasilnya. Sementara itu, pengadaan lahan dan juga penanaman pohon adalah tanggung jawab pemodal alias pemilik lahan.

Sebagaimana dapat pula di jalin hubungan dengan skema muzaraah bila tanaman yang ditanam hanya menghasilkan dalam masa yang pendek atau bahkan sekali panen.

Solusi ini pernah diterapkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama penduduk negeri Khaibar. Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma mengisahkan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan pengelolaan ladang negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi, agar mereka yang menggarap dan menanamnya. Sebagai imbalannya, mereka berhak mendapatkan separuh dari hasilnya” [Bukhari hadits no. 2165]

Kebijakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Demikian pula halnya Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, terutama pada awal pemerintahannya. Namun, setelah mempertimbangkan berbagai hal, Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu akhirnya menghentikan kerja sama ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa mencermati perdalilan prinsip-prinsip ini, niscaya ia mengetahui bahwa akad ini (muzaraah dan musaqaah) lebih dekat dengan prinsip-prinsip syariah tersebut. Kedua akad ini lebih selaras dengan nalar sehat dan lebih jauh dari hal-hal yang terlarang dibanding akad menyewakan ladang. Bahkan lebih selaras dibanding berbagai akad jual beli dan sewa-menyewa yang telah disepakati oleh ulama akan kehalalannya. Mengingat kedua akad ini mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat luas tanpa ada efek negatif yang mengancam mereka. [al-Qawa’id an-Nuraniyyah : 242]

PENUTUP
Semoga paparan singkat tentang hukum menyewakan lahan pertanian ini menambah khazanah ilmiah dan meningkatkan iman Anda kepada syari’at Islam. Syari’at Islam tentang hukum menyewakan tanah ini menjadi satu bukti tesendiri tentang kesempurnaan Islam. Sebagaimana dapat pula menjadi bukti nyata bahwa Islam dalam segala aspek kehidupan menusia telah menyajikan solusi jitu dan terbaik. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai umat Islam yang senantiasa patuh dan taat dengan segala perintah dan syari’atNya. Wallahu a’lamu bish shawab.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 09, Tahun ke-11/Robi'ul Akhir 1433 (Feb - Mar 2012. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3270/slash/0/menyewakan-tanah-pertanian/

" Tata Cara Bercanda "

                                                   CANDA YANG DIBOLEHKAN

Ada kalanya kita mengalami kelesuan dan ketegangan setelah menjalani kesibukan. Atau muncul rasa jenuh dengan berbagai rutinitas dan kesibukan sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan penyegaran dan bercanda. Kadang kala kita bercanda dengan keluarga atau dengan sahabat. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat manusiawi dan dibolehkan. Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melakukannya. Jika kita ingin melakukannya, maka harus memperhatikan beberapa hal yang penting dalam bercanda.

1. Meluruskan Tujuan.
Yaitu bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa bosan dan lesu, serta menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa memperoleh gairah baru dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.

2. Jangan Melewati Batas.
Sebagian orang sering kebablasan dalam bercanda hingga melanggar norma-norma. Dia mempunyai maksud buruk dalam bercanda, sehingga bisa menjatuhkan wibawa dan martabatnya di hadapan manusia. Orang-orang akan memandangnya rendah, karena ia telah menjatuhkan martabatnya sendiri dan tidak menjaga wibawanya. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.

3. Jangan Bercanda Dengan Orang Yang Tidak Suka Bercanda.
Terkadang ada orang yang bercanda dengan seseorang yang tidak suka bercanda, atau tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.

4. Jangan Bercanda Dalam Perkara-Perkara Yang Serius.
Ada beberapa kondisi yang tidak sepatutnya bagi kita untuk bercanda. Misalnya dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim, ketika memberikan persaksian, dan lain sebagainya.

5. Hindari Perkara-Perkara Yang Dilarang Allah Subhanahu Wa Ta'ala Saat Bercanda.
Tidak boleh bercanda atau bersenda gurau dalam perkara yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, di antaranya sebagai berikut.

- Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda. Ada orang yang bercanda dengan memakai sesuatu untuk menakut-nakuti temannya. Misalnya, seperti memakai topeng yang menakutkan pada wajahnya, berteriak dalam kegelapan, atau menyembunyikan barang milik temannya, atau yang sejenisnya. Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَأْ خُذَنَّ أحَدُكُمْ مَتَا عَ أَخِيهِ لاَ عِبًا وَلاَ جَادًّا

Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh.[9]

Pernah terjadi, ketika salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang tidur, datanglah seseorang lalu mengambil cambuknya, dan menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa takut. Sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسلِمًا

Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim yang lain.[10]

Intinya, tidak boleh menakuti-nakuti seorang muslim meskipun hanya untuk bercanda, terlebih lagi jika dengan sungguh-sungguh.

- Berdusta saat bercanda.
Banyak orang yang dengan sesuka hatinya bercanda, tak segan berdusta dengan alasan bercanda. Padahal berdusta dalam bercanda ini tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْت فِي رَبَضِ الْجَنّّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كََانَ مُحقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَط الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِ بَ وَإِنْ كَانَ مَازِ حًا وَبِبَيتِ فِي أَغلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yang memperbaiki akhlaknya.

Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tetap berkata jujur meskipun sedang bercanda. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي لأَمْزَحُ وَلاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًا

Sesungguhnya aku juga bercanda, namun aku tidak mengatakan kecuali yang benar. [11]

Oleh karena itu, tidak boleh berdusta ketika bercanda. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan ancaman terhadap orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia. [12]

Apalagi bila dalam candanya itu ia menyebut aib dan rahasia orang lain, atau mencela dan mengejek orang lain.

- Melecehkan sekelompok orang tertentu.
Misalnya bercanda dengan melecehkan orang-orang tertentu, penduduk daerah tertentu, atau profesi tertentu, atau bahasa tertentu, atau menyebut aib mereka dengan maksud untuk bercanda dan membuat orang lain tertawa. Perbuatan ini sangat dilarang.

- Canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain.
Kadang kala ini juga terjadi, terlebih bila canda itu sudah lepas kontrol. Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu ia mencela, memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan keji. Seperti ia mengatakan kepada temannya, ‘hai anak hantu,’ dan kata-kata sejenisnya untuk membuat orang tertawa. Sangat disayangkan, hal seperti ini nyata terjadi di tengah orang-orang kebanyakan dan jahil. Oleh karena itu, hendaklah kita jangan keterlaluan dalam bercanda, sehingga melampui batas.

6. Hindari Bercanda Dengan Aksi Dan Kata-Kata Yang Buruk.
Banyak orang yang tidak menyukai bercanda seperti ini. Dan seringkali berkembang menjadi pertengkaran dan perkelahian. Sering kita dengar kasus perkelahian yang terjadi berawal dari canda. Maka tidak sepatutnya bercanda dengan aksi kecuali dengan orang yang sudah terbiasa dan bisa menerima hal itu. Sebagaimana para sahabat saling melempar kulit semangka setelah memakannya. [13]

Adapun bercanda dengan kata-kata yang buruk tidak dibolehkan sama sekali. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا

Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”. [al-Isrâ`/17:53].

7. Tidak Banyak Tertawa.
Banyak orang yang tertawa berlebihlebihan sampai terpingkal-pingkal ketika bercanda. Ini bertentangan dengan sunnah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, beliau bersabda :

وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.”

Seperti yang telah dijelaskan di atas dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha. Banyak tertawa dapat mengeraskan hati dan mematikannya.

8. Bercanda Dengan Orang-Orang Yang Membutuhkannya.
Seperti dengan kaum wanita dan anakanak. Itulah yang dilakukan oleh Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam, yaitu sebagaimana yang beliau lakukan terhadap ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha dan al Hasan bin Ali, serta seorang anak kecil bernama Abu ‘Umair.

9. Jangan Melecehkan Syiar-Syiar Agama Dalam Bercanda.
Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan simbol-simbol agama, ayat-ayat al-Qur‘an dan syiarsyiarnya, wal iyâdzu billâh! Sungguh perbuatan itu bisa menjatuhkan pelakunya dalam kemunafikan dan kekufuran.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

A'udzubillahi minassyaithaanirrjiim.
Bismillahirrahmanirrahiim.

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At Taubah : 65-66].

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ ۚ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَّا تَحْذَرُونَ وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekanejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayatayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolokolok?”. [at-Taubah/9:64-65]

Dan mengangungkan syiar agama merupakan tanda ketakwaan hati. Allah berfirman:

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. [al-Hajj/22:32].

Demikianlah, semoga dengan tulisan ini kita bisa mengetahui kedudukan bercanda dalam pandangan Islam, mengetahui canda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan batasan-batasan yang dibolehkan dalam bercanda. Sehingga kita dapat membedakan antara bercanda yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan.

Maraji‘:
1. Tafsîr al-Qur‘ânil-’Azhîm, Imam Ibnu Katsîr.
2. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, Syaikh Salîm bin ‘Id al-Hilâli.
3. Durruts-Tsamîn min Riyâdhish-Shâlihîn, ‘Abdul-’Azîz Sa’ad al-’Utaibi.
4. Mausû’ah al-Adabil-Islâmiyyah, ‘Abdul Azîz bin Fathis-Sayyid Nadâ, Dâruth-Thayyibah, Cetakan Kedua, Tahun 1425 H – 2004 M.
5. Shahîh al-Jami’ish-Shaghir, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, al-Maktab al-Islami, Cetakan Ketiga, Tahun 1410 H – 1990.
6. Silsilatul Ahâdits Shahîhah, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman, Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
7. Sirah Shahîhah, Dhiyâ al-‘Umari. 8. Sunan Abu Dawud, Tashih: Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, dan disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman, Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
9. Yaumun fî Baiti Rasulillah, ‘Abdul-Malik bin Muhammad al-Qâsim, Darul-Qasim, Cetakan Pertama, Tahun 1419 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim.
[2]. Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahîh.
[3]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/117, 127, 242, 260), Abu Dawud (5002), at-Tirmidzi (1992). Lihat Shahîh al- Jâmi’ (7909).
[4]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
[5]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/161), at-Tirmidzi dalam asy-Syamil (229), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3604).
[6]. Abu Dawud (4998), dan at-Tirmidzi (1991) dari Anas. Shahîh Abu Dawud (4180).
[7]. Muttafaqun ‘Alaihi, Shahîh al-Bukhâri, sebagaimana terdapat dalam Fathul-Bari (9/325), Shahîh Muslim (3/1890, hadits nomor 2439).
[8]. Lihat Silsilah Ahâdîts Shahîhah, nomor hadits 70.
[9]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5003), dan at-Tirmidzi (2161). Lihat Shahîh Abu Dawud (4183).
[10]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5004). Lihat Shahîh Abu Dawud (4184).
[11]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabir (XII/13443). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (2494).
[12]. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/5), Abu Dawud (4990), at-Tirmidzi (2315). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (7126).
[13] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad, hlm. 41. Lihat as-Silsilah ash-Shahîhah (436).

Sumber :  http://almanhaj.or.id/content/3108/slash/0/bercanda-menurut-pandangan-islam/