Kamis, 11 April 2013

" Hukum Menyewakan Tanah Pertanian "

Menyewakan Tanah Pertanian

MENYEWAKAN TANAH PERTANIAN

Oleh.
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA


PENDAHULUAN
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga dan sahabatnya.

Bercocok tanam adalah salah satu lapangan pekerjaan yang halal dan terbukti mendatangkan hasil. Bahkan hingga saat ini kelangsungan hidup umat manusia terus bergantung kepada hasil pertanian dan perkebunan. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berhasil digapai manusia belum mampu memberikan alternatif lain. Dan mungkin hingga Hari Kiamat kondisi ini akan terus berlangsung, hasil pertanian menjadi sumber kehidupan umat manusia. Allah Ta’ala telah mengisyaratkan akan fenomena ini dalam banyak ayat, di antaranya pada ayat berikut:

وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَٰلِكَ دَحَاهَا أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ

“Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” [An-Nazi’at : 30-33].


Fenomena ini menjadi bukti tersendiri akan betapa besarnya jasa para petani. Dengan menikmati hasil kerja keras mereka, umat manusia di dunia dapat mempertahankan hidupnya.

Berkat perannya yang senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat luas ini, para petani mendapatkan imbalan pahala yang tiada batas:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِ سُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلٌّ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْبَهِيْمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ

“Tidaklah ada seorang muslim yang menanam satu pohon atau menanam tetumbuhan, lalu ada burung, atau manusia atau hewan ternak yang turut memakan hasil tanamannya, melainkan tanaman itu bernilai sedekah baginya.” [Riwayat Bukhori hadits no 2195 dan Muslim hadits no. 1552]


Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pada hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang keutamaan bercocok tanam dan betani. Pahala sorang petani terus mengalir hingga Hari Kiamat, selama pohon dan tumbuhan yang ia tanam atau kegunaannya masih bisa dimanfaatkan. Dan sebelumnya, para ulama juga telah berselisih pendapat tentang mata pencaharian yang paling bagus dan utama. Ada yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah perdagangan. Ada pula yang berpendapat bahwa perkerjaan paling utama ialah industri. Ada lagi yang mengatakan bahwa pertanian adalah yang paling utama, dan pendapat inilah yang lebih benar.” [Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 5/396]

                                            HUKUM MENYEWAKAN TANAH PERTANIAN
Jasa dan peran para petani beserta hasil kerjanya begitu penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk Anda. Karena itu, terwujudnya ketahanan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi bagian penting bagi terwujudnya kejayaan mereka.

Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa pada awal Islam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sahabatnya dari menyewakan ladang atau tanah pertanian. Mungkin salah satu hikmah yang dapat kita petik dari larangan itu ialah guna memeratakan ketahanan pangan. Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm 8/211, Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 2/179, dan Fat-hul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 5/24

Kondisi para sahabat, terlebih kaum Muhajirin pada awal hijrah ke kota Madinah, sangat memprihatinkan. Mereka berhijrah ke kota Madinah tanpa membawa serta harta kekayaannya. Kondisi ini tentu perlu disiasati dengan bijak dan hikmah, sehingga tidak berkepanjangan dan menimbulkan dampak sosial yang berat.

Guna menyiasati kondisi ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan beberapa hal, di antaranya dengan:

1. Melarang Penyewaan Ladang:

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَ غْهَا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَزْرَ عَهَا وَعَجَزَ عَنْهَا فَلْيَمْنَحْهَا أَخَاهُ الْمُسلِمَ وَلاَ يُؤَاجِرْهَاإِيَّاهُ

“Barang siapa memiliki sebidang tanah, maka hendaknya ia menggarap dan menanaminya. Dan bila ia tidak bisa menanaminya atau telah kerepotan untuk menanaminya, maka hendaknya ia memberikannya kepada saudaranya sesama muslim. Dan tidak pantas baginya untuk menyewakan tanah tersebut kepada saudaranya.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2215 dan Muslim hadits no. 1536]


2. Mensyari’atkan Kerja Sama Yang Saling Menguntungkan:
Hubungan kerja sama yang saling menguntungkan ini diwujudkan dalam bentuk musaqaah atau muzaraah. Melalui dua skema kerja sama ini, kaum Anshar mempekerjakan Muhajirin di ladang mereka, dan kemudian di saat musim panen tiba, mereka membagi hasilnya sesuai perjanjian. Adanya kerja sama ini nampak dengan jelas pada penuturan sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berikut ini:

قَالَتِ الأَنْصَارُ لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْسِم بَيْنَنَا وَ بَيْنَ إِخْوَانِنَاالنَّخِيلَ، قَالَ :لاَ فَقَالَوا : تَكْفُونَا الْمَئُونَةَ وَنُشْرِكُكُمْ فِى الشَّمَرَةِ، قَالُوا سَمِعْنَاوَأَطَعنَا

“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Bagilah ladang kurma kami menjadi dua bagian, satu bagian untuk kami dan yang lain untuk saudara-saudara kami Muhajirin.” Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab usulan ini dengan bersabda: Tidak. Lalu beliau menawarkan solusi lain melalui sabdanya:”Bila demikian, kalian mempercayakan kepada kami urusan ladang kalian, dan selanjutnya kami turut serta bersama kalian dalam menikmati hasilnya.” Spontan kaum Anshar menyambut tawaran beliau ini dan berkata: “Ya, kami mendengar dan patuh kepada petunjuk ini.” [Bukhari hadits no. 2200]

Demikianlah kondisi ini berlangsung hingga beberapa saat lamanya. Adapun setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat berhasil menundukkan musuh-musuhnya, maka terbukalah lahan pertanian yang melimpah ruah. Sejak saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganulir larangannya dan merestui penyewaan lahan pertanian. Walaupun hal kedua, yaitu kerja sama dengan skema musaqaah atau muzaraah tetap dibiarkan, karena solusi ini terus dibutuhkan adanya hingga akhir masa.

Walau demikian satu ketentuan yang hendaknya Anda indahkan ketika Anda hendak menyewakan ladang Anda. Ketentuan ini bertujuan menjaga tercapainya keadilan dan tranparasi dalam akad sewa menyewa ladang.

                         KEPASTIAN DAN KEJELASAN MASA SEWA DAN NILAI SEWA.
Sewa-menyewa termasuk ladang pertanian, sejatinya adalah bentuk pertukaran harta kekayaan. Karena itu kejelasan merupakan satu hal penting yang harus Anda wujudkan padanya. Semua itu demi menghindari perselisihan dan silang pemahaman antara kedua belah pihak. Dan dengan cara ini, masing-masing pihak mendapatkan haknya secara utuh tanpa ada yang terkurangi. Ketentuan ini merupakan aplikasi nyata dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli untung-untungan (gharar).” [Riwayat Muslim hadits no. 1513]


Nilai sewa atau masa sewa yang tidak jelas, menjadikan akad tersebut terlarang dalam Islam. Karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyewakan ladang dengan upah berupa bagian dari hasil ladang itu, yang nominal atau jumlahnya tidak dapat ditentukan.

حَنْظَلَةُ بْنُ قَيْسٍ الأَنْصَارِىُّ قَالَ سَأَلْتُ رَافِعَ بْنِ خَدِيْجٍ عَنْ كِرَاءِالأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَقَالَ لاَ بَأسَ بِهِ إِنَّمَا كَانَ النَّاسُ يُؤَاجِرُونَ عَلَى عَهدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمَاذِيَانَاتِ وَأَقْبَالِ الْجَدَاوِلِ وَأَشْيَاءَ مِنَ الزَّرْعِفَيَهلِكُ هَذَاوَيَسْلَمُ هَذَا وَيَسْلَمُ هَذَا وَيَهلِكُ هَذَا فَلَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ كِرَاءٌ إِلاَّ هَذَا فَلِذَلِكَ زُجِرَ عَنْهُ، فَأَمَّا شَىْءٌ مَعْلُومٌ مَضْمُونٌ فَلاَ بَأسَ بِهِ

Pada suatu hari, Hanzhalah bin Qais al-Anshari bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa berupa emas dan perak. Maka Rafi’ bin Khadij menjawab, “tidak mengapa. Dahulu semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masyarakat menyewakan ladang dengan uang sewa berupa hasil dari bagian ladang tersebut yang berdekatan dengan parit atau sungai, dan beberapa bagian hasil tanaman. Dan kemudian di saat panen tiba, ladang bagian ini rusak, sedang bagian yang lain selamat, atau bagian yang ini selamat, namun bagian yang lain rusak. Kala itu tidak ada penyewaan ladang selain dengan cara ini, maka penyewaan semacam ini dilarang. Adapun menyewakan ladang dengan nialai sewa yang pasti, maka tidak mengapa.”[Muslim hadits no. 1547]


Hadits ini menjelaskan ketentuan uang sewa:

1. Bila sewa ladang dengan uang baik dinar atau dirham atau uang lain yang serupa, maka insya Allah tidak mengapa.
2. Namun, bila uang sewa berupa hasil tanaman yang ditanam di ladang tersebut maka ada dua kemungkinan:

Kemungkinan Pertama: Uang sewa ditentukan dengan hasil ladang tertentu.
Misalnya penyewa atau pemilik ladang atau keduanya menyepakati bahwa hasil ladang bagian atas, atau yang dekat dengan parit adalah sebagai uang sewa. Kesepakatan semacam inilah yang dilarang dalam hadits Rafi’ bin Khadij di atas. Alasannya, bisa jadi tanaman di ladang tidak semuanya menghasilkan. Ada kemungkinan yang mengahasilkan hanya sebagian saja, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perselisihan, karena salah satu pihak merasa dirugikan. Wajar bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, demi menjaga keutuhan persatuan dan persaudaraan antara umat Islam.

Kemungkinan Kedua: Uang sewa ditentukan bentuk nisbah (persentase).
Bila uang sewa adalah bagian dari hasil ladang, dan nominalnya ditentukan dalam bentuk nisbah persentase tertentu dari hasil ladang maka akad semacam ini insya Allah tidak mengapa. Walau pun banyak dari ulama yang melarangnya, pendapat Imam Ahmad dan lainnya yang membolehkan akad ini lebih kuat, dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Hukum asal setiap akad adalah halal.
b. Tidak ada dalil yang melarang.
c. Akad ini, walaupun secara lahir adalah akad sewa-menyewa, sejatinya akad ini adalah akad musaqah atau muzaraah. Alasan ini berdasarkan satu kaidah dalam ilmu fiqih yang menjelaskan bahwa standar hukum suatu akad adalah substansi atau hakikatnya dan bukan sekedar teks dan ucapannya. [Al-Qawaid al-Kulliyyah wadh-Dhwabith al-Fiqhiyyah oleh Muhammad Utsman Syabir hlm.121]


Berdasarkan kaidah ini dapat kita simpulkan bahwa akad diatas, walaupun menggunakan kata-kata sewa dan uang sewa, secara hukum adalah akad musaqaah atau muzaraah.

Serupa dengan akad sewa ladang yang terlarang pada hadits ini adalah menyewakan lahan untuk dibangun suatu gedung perhotelan atau lainnya, sedang pada akad sewa tersebut disepakati bahwa bila masa sewa telah berlangsung 30 tahun- misalnya- maka gedung hotel beserta seluruh hasilnya menjadi hak pemilik lahan. Dengan demikian, selama 30 tahun pertama pemilik lahan tidak mendapatkan uang sewa, atau mendapatkannya namun dalam nominal yang relatif kecil.

Anda pasti sepakat bahwa tidak seorangpun tahu bagaimana kira-kira kondisi gedung setelah berlalu 10 tahun (apalagi 30 tahun, Red). Kondisi demikian dapat dipastikan rentan memancing munculnya sengketa dan silang pemahaman.

Solusi dari akad sewa semacam ini ialah degan menjadikan harga tanah sebagai bentuk penyertaan modal. Dengan demikian, kepemilikan hotel, gedung, dan tanahnya dimiliki bersama antara investor dan pemilik lahan. Segala keuntungan dibagi berdua sesuai dengan perjanjian dan persentase modal yang mereka sertakan. Dengan solusi ini, kejelasan dalam berbagai aspek akad dapat terwujud, sebagaimana kedua belah pihak berkewajiban menanggung risiko usaha sebesar persentase modalnya.

                     ANTARA MENYEWAKAN DAN MENGGADAIKAN LADANG
Diantara bentuk akad yang banyak dilakukan masyarakat, terlebih mansyarakat pedesaan, ialah menggadaikan lahan pertanian mereka. Berdasarkan akad ini mereka mendapatkan sejumlah piutang, dan sebagai konsekuensinya mereka menyerahkan ladangnya untuk digarap oleh kreditor. Sebagaimana pada saat jatuh tempo, debitor (penghutang) berkewaji ban mengembalikan utangnya dengan utuh tanpa dikurangi sedikit pun. Demikianlah gadai sawah atau ladang yang banyak dilakukan oleh masyarakat.

Akad gadai semacam ini, walaupun telah merajalela, bukan berarti akad ini tanpa masalah alias halal. Akad ini sejatinya adalah akad yang mengandung unsur riba, karena akad ini adalah akad piutang yang mendatangkan keuntungan, sehingga haram secara hukum syari’at.

Sahabat Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu anhu:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.” [Rriwayat al-Baihaqi 5/350]


Ucapan serupa juga ditegaskan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhum sebagaimana disebutkan oleh al-Baihaqi pada kitabnya di atas

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, diantaranya sahabat Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik.” [Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah 29/334]

Coba Anda renungkan: Debitur (penghutang) semasa masih menggarap ladangya ternyata mengalami kesulitan, sehingga berhutang. Tentu setelah ladangnya ia gadaikan, kondisinya semakin parah. Karena itu pada kenyataannya di masyarakat, orang-orang yang menggadaikan lahannya dengan cara semacam ini kesulitan untuk melunasi piutangnya, dan banyak dari mereka terpaksa menjual lahannya.

Kondisi semacam ini tentu tidak baik dan mengancam kerukunan masyarakat. Karena itu, pada kesempatan ini saya menawarkan dua solusi halal dan jauh dari riba:

Solusi Pertama: Akad Sewa
Menyewakan lahan kepada investor selama beberapa waktu, dapat menjadi alternatif pengganti akad gadai yang mengandung riba. Sebagai pemilik lahan, Anda dapat menyewakan lahan kepada orang lain (investor) dalam batas waktu tertentu, dengan uang sewa yang Anda inginkan dan disetujui oleh penyewa. Dengan hasil penyewaan ini Anda dapat memenuhi keburuhan Anda, tanpa harus terjerumus dalam praktik riba.

Solusi Kedua : Kerja Sama
Diantara solusi yang lebih adil dan jauh dari perselisihan ialah dengan menjalin kerja sama antara pemilik lahan dengan penggarap. Berdasarkan kerja sama ini kedua belah pihak berhak mendapatkan bagian dari hasil ladang sesuai dengan persentase yang disepakati. Dan sebaliknya bila ladang gagal menghasilkan, maka penggarap ladang bebas dari kewajiban apapun selain mengembalikan ladang kepada pemiliknya.

Akad kerja sama antara dua belah pihak ini dapat menggunakan skema musaqah bila ladang telah ditanami dengan tanaman yang dapat menghasilkan dalam jangka waktu panjang. Dengan skema kerja sama ini pengelola –biasanya- bertanggung jawab merawat tanaman dan kemudian memanen hasilnya. Sementara itu, pengadaan lahan dan juga penanaman pohon adalah tanggung jawab pemodal alias pemilik lahan.

Sebagaimana dapat pula di jalin hubungan dengan skema muzaraah bila tanaman yang ditanam hanya menghasilkan dalam masa yang pendek atau bahkan sekali panen.

Solusi ini pernah diterapkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama penduduk negeri Khaibar. Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma mengisahkan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan pengelolaan ladang negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi, agar mereka yang menggarap dan menanamnya. Sebagai imbalannya, mereka berhak mendapatkan separuh dari hasilnya” [Bukhari hadits no. 2165]

Kebijakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Demikian pula halnya Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, terutama pada awal pemerintahannya. Namun, setelah mempertimbangkan berbagai hal, Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu akhirnya menghentikan kerja sama ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa mencermati perdalilan prinsip-prinsip ini, niscaya ia mengetahui bahwa akad ini (muzaraah dan musaqaah) lebih dekat dengan prinsip-prinsip syariah tersebut. Kedua akad ini lebih selaras dengan nalar sehat dan lebih jauh dari hal-hal yang terlarang dibanding akad menyewakan ladang. Bahkan lebih selaras dibanding berbagai akad jual beli dan sewa-menyewa yang telah disepakati oleh ulama akan kehalalannya. Mengingat kedua akad ini mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat luas tanpa ada efek negatif yang mengancam mereka. [al-Qawa’id an-Nuraniyyah : 242]

PENUTUP
Semoga paparan singkat tentang hukum menyewakan lahan pertanian ini menambah khazanah ilmiah dan meningkatkan iman Anda kepada syari’at Islam. Syari’at Islam tentang hukum menyewakan tanah ini menjadi satu bukti tesendiri tentang kesempurnaan Islam. Sebagaimana dapat pula menjadi bukti nyata bahwa Islam dalam segala aspek kehidupan menusia telah menyajikan solusi jitu dan terbaik. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai umat Islam yang senantiasa patuh dan taat dengan segala perintah dan syari’atNya. Wallahu a’lamu bish shawab.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 09, Tahun ke-11/Robi'ul Akhir 1433 (Feb - Mar 2012. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3270/slash/0/menyewakan-tanah-pertanian/

" Tata Cara Bercanda "

                                                   CANDA YANG DIBOLEHKAN

Ada kalanya kita mengalami kelesuan dan ketegangan setelah menjalani kesibukan. Atau muncul rasa jenuh dengan berbagai rutinitas dan kesibukan sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini, kita membutuhkan penyegaran dan bercanda. Kadang kala kita bercanda dengan keluarga atau dengan sahabat. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat manusiawi dan dibolehkan. Begitu pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melakukannya. Jika kita ingin melakukannya, maka harus memperhatikan beberapa hal yang penting dalam bercanda.

1. Meluruskan Tujuan.
Yaitu bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa bosan dan lesu, serta menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa memperoleh gairah baru dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.

2. Jangan Melewati Batas.
Sebagian orang sering kebablasan dalam bercanda hingga melanggar norma-norma. Dia mempunyai maksud buruk dalam bercanda, sehingga bisa menjatuhkan wibawa dan martabatnya di hadapan manusia. Orang-orang akan memandangnya rendah, karena ia telah menjatuhkan martabatnya sendiri dan tidak menjaga wibawanya. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.

3. Jangan Bercanda Dengan Orang Yang Tidak Suka Bercanda.
Terkadang ada orang yang bercanda dengan seseorang yang tidak suka bercanda, atau tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.

4. Jangan Bercanda Dalam Perkara-Perkara Yang Serius.
Ada beberapa kondisi yang tidak sepatutnya bagi kita untuk bercanda. Misalnya dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim, ketika memberikan persaksian, dan lain sebagainya.

5. Hindari Perkara-Perkara Yang Dilarang Allah Subhanahu Wa Ta'ala Saat Bercanda.
Tidak boleh bercanda atau bersenda gurau dalam perkara yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, di antaranya sebagai berikut.

- Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda. Ada orang yang bercanda dengan memakai sesuatu untuk menakut-nakuti temannya. Misalnya, seperti memakai topeng yang menakutkan pada wajahnya, berteriak dalam kegelapan, atau menyembunyikan barang milik temannya, atau yang sejenisnya. Perbuatan seperti ini tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَأْ خُذَنَّ أحَدُكُمْ مَتَا عَ أَخِيهِ لاَ عِبًا وَلاَ جَادًّا

Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh.[9]

Pernah terjadi, ketika salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang tidur, datanglah seseorang lalu mengambil cambuknya, dan menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa takut. Sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَيَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسلِمًا

Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim yang lain.[10]

Intinya, tidak boleh menakuti-nakuti seorang muslim meskipun hanya untuk bercanda, terlebih lagi jika dengan sungguh-sungguh.

- Berdusta saat bercanda.
Banyak orang yang dengan sesuka hatinya bercanda, tak segan berdusta dengan alasan bercanda. Padahal berdusta dalam bercanda ini tidak dibolehkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْت فِي رَبَضِ الْجَنّّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كََانَ مُحقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَط الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِ بَ وَإِنْ كَانَ مَازِ حًا وَبِبَيتِ فِي أَغلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yang memperbaiki akhlaknya.

Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tetap berkata jujur meskipun sedang bercanda. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي لأَمْزَحُ وَلاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًا

Sesungguhnya aku juga bercanda, namun aku tidak mengatakan kecuali yang benar. [11]

Oleh karena itu, tidak boleh berdusta ketika bercanda. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan ancaman terhadap orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia. [12]

Apalagi bila dalam candanya itu ia menyebut aib dan rahasia orang lain, atau mencela dan mengejek orang lain.

- Melecehkan sekelompok orang tertentu.
Misalnya bercanda dengan melecehkan orang-orang tertentu, penduduk daerah tertentu, atau profesi tertentu, atau bahasa tertentu, atau menyebut aib mereka dengan maksud untuk bercanda dan membuat orang lain tertawa. Perbuatan ini sangat dilarang.

- Canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain.
Kadang kala ini juga terjadi, terlebih bila canda itu sudah lepas kontrol. Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu ia mencela, memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan keji. Seperti ia mengatakan kepada temannya, ‘hai anak hantu,’ dan kata-kata sejenisnya untuk membuat orang tertawa. Sangat disayangkan, hal seperti ini nyata terjadi di tengah orang-orang kebanyakan dan jahil. Oleh karena itu, hendaklah kita jangan keterlaluan dalam bercanda, sehingga melampui batas.

6. Hindari Bercanda Dengan Aksi Dan Kata-Kata Yang Buruk.
Banyak orang yang tidak menyukai bercanda seperti ini. Dan seringkali berkembang menjadi pertengkaran dan perkelahian. Sering kita dengar kasus perkelahian yang terjadi berawal dari canda. Maka tidak sepatutnya bercanda dengan aksi kecuali dengan orang yang sudah terbiasa dan bisa menerima hal itu. Sebagaimana para sahabat saling melempar kulit semangka setelah memakannya. [13]

Adapun bercanda dengan kata-kata yang buruk tidak dibolehkan sama sekali. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

وَقُل لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا

Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”. [al-Isrâ`/17:53].

7. Tidak Banyak Tertawa.
Banyak orang yang tertawa berlebihlebihan sampai terpingkal-pingkal ketika bercanda. Ini bertentangan dengan sunnah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, beliau bersabda :

وَيْلٌ للَّذِي يُحَدِّ ثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْخِكَ بِهِ الْقَوْمَ ويْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.”

Seperti yang telah dijelaskan di atas dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha. Banyak tertawa dapat mengeraskan hati dan mematikannya.

8. Bercanda Dengan Orang-Orang Yang Membutuhkannya.
Seperti dengan kaum wanita dan anakanak. Itulah yang dilakukan oleh Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam, yaitu sebagaimana yang beliau lakukan terhadap ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha dan al Hasan bin Ali, serta seorang anak kecil bernama Abu ‘Umair.

9. Jangan Melecehkan Syiar-Syiar Agama Dalam Bercanda.
Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan simbol-simbol agama, ayat-ayat al-Qur‘an dan syiarsyiarnya, wal iyâdzu billâh! Sungguh perbuatan itu bisa menjatuhkan pelakunya dalam kemunafikan dan kekufuran.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

A'udzubillahi minassyaithaanirrjiim.
Bismillahirrahmanirrahiim.

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At Taubah : 65-66].

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَن تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُم بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ ۚ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَّا تَحْذَرُونَ وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekanejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)”. Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayatayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolokolok?”. [at-Taubah/9:64-65]

Dan mengangungkan syiar agama merupakan tanda ketakwaan hati. Allah berfirman:

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. [al-Hajj/22:32].

Demikianlah, semoga dengan tulisan ini kita bisa mengetahui kedudukan bercanda dalam pandangan Islam, mengetahui canda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan batasan-batasan yang dibolehkan dalam bercanda. Sehingga kita dapat membedakan antara bercanda yang dibolehkan dan yang tidak dibolehkan.

Maraji‘:
1. Tafsîr al-Qur‘ânil-’Azhîm, Imam Ibnu Katsîr.
2. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, Syaikh Salîm bin ‘Id al-Hilâli.
3. Durruts-Tsamîn min Riyâdhish-Shâlihîn, ‘Abdul-’Azîz Sa’ad al-’Utaibi.
4. Mausû’ah al-Adabil-Islâmiyyah, ‘Abdul Azîz bin Fathis-Sayyid Nadâ, Dâruth-Thayyibah, Cetakan Kedua, Tahun 1425 H – 2004 M.
5. Shahîh al-Jami’ish-Shaghir, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, al-Maktab al-Islami, Cetakan Ketiga, Tahun 1410 H – 1990.
6. Silsilatul Ahâdits Shahîhah, Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman, Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
7. Sirah Shahîhah, Dhiyâ al-‘Umari. 8. Sunan Abu Dawud, Tashih: Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, dan disusun oleh Syaikh Abu ‘Ubaidah Masyhur Hasan Salman, Maktabatul-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan Pertama.
9. Yaumun fî Baiti Rasulillah, ‘Abdul-Malik bin Muhammad al-Qâsim, Darul-Qasim, Cetakan Pertama, Tahun 1419 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim.
[2]. Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahîh.
[3]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/117, 127, 242, 260), Abu Dawud (5002), at-Tirmidzi (1992). Lihat Shahîh al- Jâmi’ (7909).
[4]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
[5]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/161), at-Tirmidzi dalam asy-Syamil (229), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3604).
[6]. Abu Dawud (4998), dan at-Tirmidzi (1991) dari Anas. Shahîh Abu Dawud (4180).
[7]. Muttafaqun ‘Alaihi, Shahîh al-Bukhâri, sebagaimana terdapat dalam Fathul-Bari (9/325), Shahîh Muslim (3/1890, hadits nomor 2439).
[8]. Lihat Silsilah Ahâdîts Shahîhah, nomor hadits 70.
[9]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5003), dan at-Tirmidzi (2161). Lihat Shahîh Abu Dawud (4183).
[10]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (5004). Lihat Shahîh Abu Dawud (4184).
[11]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Kabir (XII/13443). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (2494).
[12]. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/5), Abu Dawud (4990), at-Tirmidzi (2315). Lihat Shahîh al-Jâmi’ (7126).
[13] Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad, hlm. 41. Lihat as-Silsilah ash-Shahîhah (436).

Sumber :  http://almanhaj.or.id/content/3108/slash/0/bercanda-menurut-pandangan-islam/

Senin, 26 September 2011

127 Kesalahan dan Bid'ah seputar SHOLAT, Hadehhh Parrah tenan....

Salah satu hadits yang menentang SANGAT mengenai BID'ah yaitu ialah.... "Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabulloh, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad ( SAW ), sedangkan seburuk-buruk URUSAN AGAMA ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. ( HR Muslim )

Walo bgono ada pendapat kalu bid'ah itu ada 2 yaitu : 1. Bid'ah Khasanah ( Baik ) dan 2. Bid'ah Bid'ah Dholalah ( Sesat ). TAPI tetep saja saia tidak bisa menerima itu karena itu pendapat bukan dari Nabi SAW ato para sahabatnya tetapi dari mereka yang MUNGKIN melakukan salah satu bid'ah itu. Peace ( damai ) klu ada yg tersinggung. Oke ini dia 127 macem kesalahan dan Bid'ah itu .... ehem ehemm..."_"...

1. Sengaja menunda sholat hingga waktunya habis
2. Sholat pada waktu makruh tanpa sebab
3. Mengqodo' sholat yang terlewatkan pada hari berikutnya pada waktu sholat tersebut
4. Tidak khusyuk dalam sholat
5. Was-was dalam sholat
6. Sholat dengan baju ketat yang menggambarkan bentuk aurat. ed ( TERLAaaaLU )
7. Sholat dengan aurat terbuka
8. Laki" sholat dg pundak terbuka
9. Sholat dg baju bergambar
10. tidak mengenakan pakaian yang rapi untuk sholat
11. Menyalahkan orang yang sholat dg memakai sendal
12. Laki" sholat dg baju sutra
13. Laki" menurunkan sarungnya melebihi mata kaki ( Isbal ) dalam sholat
14. Sholat dg baju disisingkan
15. Sholat dg baju yg dicelup warna kuning
16. Laki" sholat dg kepala terbuka
17. Sujud diatas tnah karbala'
18. Melafadzkan niat ketika hendak memulai sholat
19. Tidak menggerakkan lidah ketika mengucapkan bacaan dan do'a dalam sholat sirriyah
20. tidak menggunakan sutrah
21. Tidak mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram
22. Melepaskan kedua tangan dan tidak bersedekap saat berdiri
23. Meletakkan kedua tangan disisi kiri
24. Bertolak pinggang ( Ikhtisar ) dalam sholat
25. Menoleh ketika sholat tanpa keperluan
26. Menatap kearah langit saat sholat
27. Tidak menahan menguap dalam sholat
28. Tidak membaca do'a iftitah dalam sholat
29. Tidak membaca t'awudz
30. Imam membaca Al Quran sesuai urutan mushaf
31. Menyalahkan imam bila menyelisihi urutan mushaf
32. Tidak mengucapkan takbir ketik hendak sujud tilawah dalam sholat
33. Tidak mengingatkan imam ketika salah membaca
34. Lebih memanjangkan bacaan di rokaat kedua darpada rokaat pertama
35. Imam memanjangkan sholat himgga memberatkan makmum
36. Mendahulukan imam yg lbih tua, meski ada yg muda bcaannay lebih bgus
37. Makmum berdiri disisi kiri imam
38. Makmum brdiri di kanan imam dan sedikit ke belakang
39. Imam tidak mempedulikan siapa yang berdiri di belakangnya
40. Imam tak meluruskan shf
41. Imam mengucapakan " Sholatlah seperti sholat terakhir "
42. Memejamkan mata dalam sholat
43. Makmum mengeraskan takbir dan bacaan
44. makmum mengeraskan takbir dalam sholat ID
45. Makmum berhenti mengikuti imam tanpa sebab
46. Berjalan tergesa-gesa saat iqomah ato menjelng imam rukuk agar tak ketinggalan]
47. Makmum berbicara kpd imam agar ia mendapatkann rakaat atau jamaah
48. Para makmum masih mengobrol di barisan belakang padhal sholat hampir dimulai
49. Menunaikan sholat sunnah ketika iqomah sudah dikumandangkan
50. Tidk mengerjakan sholat pada awal waktu dg alasan bekerja itu juga ibadah
51. Sibuk membaca do'a iftitah hingga imam rukuk
52. Tidak berhenti di tiap akhir" aayt Al Quran
53. Ucapan makmum "Ya Alloh ampuni aku, orang tuaku...." saat imam membaca " Wa ladhooliin"
54. Ucapan makmum " Ista'ana billah," ketika imam membaca " Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin"
55. Ucapan makmum " Wasalamun 'alal mursalin, walkhamdulillahi robbil 'alamiin ' usai membaca Aamiin.
56. Imam diam diantara Al fatihah dan bacaan Surah
57. Selalu memperpendek bacaan setelah Al fatihah
58. Ucapan makmum " Shodaqollohul 'adziim " pada akhir bacaan imam
59. Ucapan makmum " Bala wa ana 'ala dzalika minasyahidin "
60. tidak merapatkan shaf
61. Keyakinan sebagian kaum muslimin tentang tidak bolehnya mengadakan sholat jama'ah kedua
62. Tidak mengerjakan sholat yg tlah habis waktunya
63. Sholat shubuh dg tidak mengeraskan bacaan setelah matahari terbit
64. Sholat saat makanan telah dihidangkan atau sambil menahan kencing dan berak
65. Orang yg datang terlmbat menarik seseorang dari shaf depan agar berdiri disampingnya
66. Para mkmum memulai sisi shaf dari sisi kanan
67. Tidak tuma'ninah dalm rukuk
68. membaca Al Quran dlm rukuk dan sujud
69. Tidak menyamakan durasi rukuk dan sujud
70. Mengangkat kedua tangan seperti dalam do'a saat bagkit dari rukuk
71. Banyak bergerak dalam sholat tanp ada keperluan
72. Meletakkan lengn bawah diatas lantai ketika sujud
73. Menempelkan lengan atas ke lambung saat sujud
74. Menumpangkan satu telapak kaki ketelapak kaki yg lain saat sujud
75. Bersandar dg kaki kiri saat duduk
76. Tidk duduk istirahat pada akhir setiap rakkat yang diikuti berdiri
77. Imam memnjangkan dan mengubah nada suara takbir untuk tasyahud awal dan akhir
78. Tidak mempraktekkan cara duduk tasyahud awal dan akhir dan benar
79. Menambahkan kata "Sayyidina" dalam sholawat ibrahim ( Tasyahud khir )
80. Mengnggukan kepala saat salam
81. Berisyarat dg telapak tangan saat salam kearah kanan dan kiri
82. Ucapan saat salam " aku memohon surga kepada-Mu dan aku memohon keselamatan dari neraka"
83. Kesalahan sebagian makmum dalam pengucapan "AAmiin"
84. Mengangkat tamgan saat imam membaca "Wa ladhoolliin"
85. Mengangkat kepala saat mengucapkan "Aamiin"
86. Mendahului imam atau melakukan gerakan bersamaan dengan imam
87. Tidak membaca do'a rukuk
88. Tidak membaca do'a i'tidal
89. Menambahkan kata "Was syukru" setelah "Robbana walakal khamdu"
90. Tidak tuma'ninah sat i'tidal
91. Selalu membaca do'a qunut setelah rukuk pd rakaat kedua dalam sholat shubuh
92. Mengusap wajah dg kedua tangan setelah berdo'a
93. Makmum sudah sujud ketika imam belum meletakkan dahinya di atas lantai
94. Tidak tuma'ninah saat sujud
95. Tidk berdo'a saat sujud
96. Mengangkat sesuatu untuk sujud bagi orng yg sakit
97. tidak duduk diantars dua sujud dan tidak tuma'ninah
98. Do'a dalam sujud sahwi "Subhna manlahu walaa yaanam"
99. Tidak berisyarat saat tasyahud
100. Tidak mengucapakan do'a yg diriwayatkan setelah tasyahud
101. menglang ulang Al Fatihah
102. Meyakini penyebab imam lupa adl karena ada makmum yg tidak bersuci dg baik
103. Ucapan sbagian orang di awal tasyahud "bismillah" ato kata "Atsyahud"
104. Menggabungkan beberpa do'a tasyahud
105. Berisyarat dh jari telunjuk saat duduk diantara dua sujud
106. Menambahkan satu atau dua sujud setelah sholat
107. Menutup sholat dg do'a bersama dan suara keras
108. Berdzikir dengan biji tasbih
109. Menegadahkan kedua tangan untuk berdo'a setelah sholat
110. Berjabat tangan setelah sholat
111. Ucapan seseorang kepada orang disampingnya "Haraman" atau "Taqobballoh"
112. Jarang menunikn sholat rowatib dan sholat" sunnah lainnya
113. Berpindah tempat untk sholat sunnah
114. Membiarkan anak menangis, shg mengganggu kekhusyukan sholat
115. Keyakinan bahwa sholat diatas loteng tidak sah
116. Tidak mengucapkann dzikir" setelah sholat
117. Ucapan orang setelah beristighfar secara berjamaah "yaa arhamarrohimiin, irhamnaa..."
118. Menyambung sholat sunnah dg sholat wajib tanpa ada jeda wktu
119. Membaca Al Fatihah setelah sholat demi menambah kemu;iaan Nabi SAW
120. Memutar-mutar telapak tangan kanan dalam keadaan terbuka diatas kepala setelah salam
121. Membaca 3 ayat dari Surah 'Ali 'Imron selepas salam
122. Membaca ayat "Innalloha malalaikatahu..."
123. <embaca "Khatmul khabir dan Khatmus Shaghir"
124. Dzikir" yg diucapkan setiap selesai  dari dua rokaat sholat tarawih
125. Menyeru sholat tarawih dg ucapan "Sholatul qiyam tsabakumulloh"
126. Lewat didepan orang yg sedang sholat
127. Tidak mengqashar salat sat bepergian

Itula banyak kesalahan pd waktu SHOLAt, semoga penulis ditunjukkan jalan lurus oleh ALLOH SWT dan juga keluarganya. Aamiin.

Dikutip dari Qibltuna Referensi ilmu & amal
dg Judul " JANGAN BIARKAN SHOLAT ANDA SIA-SIA"

Hadits Peringatan :
" Barangsiapa mengamalkan amala yang bukan dari kami, maka ia tertolak " ( HR Muslim )
" Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan ( agama ) kami yang bukan dari ajarannya maka ia tertolak" ( HR Bukhori )


" WASPADALAH TERHADAP SEGALA BENTUK BID'AH, WAHAI SAUDARA "

Jumat, 23 September 2011

Tentang aku....

Nama : Pambudiono ( BUDI )

Lahir : Nganjuk, 9 Oktober 1991

Sekolah : SDN Pandean 1, MTs Al Huda Gondang, SMK Muhammadiyah 1 Nganjuk Teknik Audio Video

Hoby : Mencari Keinginanku, Senang menggali Ilmu Tentang Islam ( So Much )

Pekerjaan : Sekolah, Kerja di Radio Komunikasi Juli 2009 - Sekarang

Watak : menurutku PENDIAM tapi MEMPERHATIKAN tapi kalu udah ada ketersambungan interaksi MALAH kagak bisa DIEM,




Lainnya hanya rahasiaku dan Tuhanku ( Alloh SWT ).
Aku Cinta Islam tapi Oo sulit Mencintainya.... ( still trying to continue to love it)

Minggu, 18 September 2011

44 Kesalahan dan Bid'ah Seputar Hari Jum'at ....

Kesalahan'' dan Bid'ah ( Hal'' yang di ada-adakan ) seputar waktu hari jum'at itu ntara laen iyyyalah...

1. Meyakini Sholat Shubuh Hari Jum'at Tidak Sah Selain Membaca Surat As-Sajdah dan Al-Insan
2. Membaca Beberapa Ayat dari Surat As-Sajdah dan Al-Insan dalam Sholat Shubuh Hari Jum'at
3. Mandi Untuk Menghadiri Sholat Jum'at Tanp Menyertakan Niat ( Didalam hati )
4. meykini Sholat Jum'at Tidak Sah Kecuali dengan Minimal 40 Orang
5. Masuk Masjid tanpa Melakukan Sholat Tahiyyatul Masjid Saat imam Tengah Berkhutbah
6. Para Qori' Membaca Apa yang Dikenal dengan Quran Jum'at Melalui Pengeras Suara
7. Keyakinan adanya Sholat Sunnah Qabliyah Sebelum Sholat Jum'at
8. Khotib Berdo'a sambil Menghadap Kiblat Ketika Naik Mimbar
9. Selalu Membawakan Khutbah Hajah Pada Pembukaan Setiap Khutbah Jum'at
10. Menunaikn Sholt Tahiyytul Masjid Pada Khutbah Kedua
11. Antusias Mengerjakan Sholat Jum'at di Masjid Husain dal lainnya
12. Memanjangkan Khutbah Jum'at
13. Larangan Duduk Memeluk Lutut ( Ihtiba' ) Ketika Menghadiri Jum'at
14. Menjawab Salam dan Mendo'akan Orang Bersin Saat Imam Khutbah
15. Imam Tidak Membaca Surat Qao di atas Mimbar Pada Hari Jum'at
16. Menyebut Nama Sebagian Orang Saat khutbah dalam Konteks mencela dan Mencemooh
17. Khatib Selalu Bersajak dalam Berdo'a
18. Khatib Menunjuk Orang Lain Untuk Memimpin Sholat Tanpa Ada Alasan
19. Meninggalkan Sholat Jum'at Tanpa Alasan
20. Menyuruh orang yang Tidak iKut Sholat Jum'at Agar Membayar Kaffarat
21. Khatib Berkhutbah dengan Posisi Duduk Tanpa Alasan
22. Ketika Berkhutbah, Khatib Pantang Menoleh dan Meyakininya Sebagai Sunnah
23. Khatib Jum'at Diganti dengan Rekaman Khutbah
24. Pengantin Baru Tidak Menghadiri Sholat Jum'at
25. Tidak Mandi, bersiwak, dan Memakai Wewangian Ketika Menghadiri Sholat Jum'at
26. Tidak Mendatangi Sholat Jum'at di Awal Waktu
27. Melangkahi Pundak dan Memisahkan Antara Dua Orang Pada Hari Jum'at
28. Menyuruh seseorang Agar Berdiri, Lalu Menduduki Tempatnya
29. Berbicara dan Tidak Diam Untuk Mendengarkan Khutbh
30. Tidak Berdo'a Pada Waktu Mustajab Pada Hari Jum'at
31. Menunaikan Sholat Dzuhur setelah sholat Jum'at bagi Orang yang Menghadirinya
32. Mengkhususkan Malam Jum'at Untuk Sholat Tertentu dan Siangnya Untuk berpuasa
33. menamakan Khutbah Kedua dengan Khutbh Pengiring
34. Membaca Surat Al-Ikhlas dan lainnya pada Waktu antara Dua Khutbah
35. Khatib Menengadahkan Kedua Tangan Saat Berdo'a
36. Khatib mengerjakan Sholat Tahiyyatul Masjid Sebelum Naik Mimbar
37. Menunggu Muadzin Selesai Adzan, kemudian Baru Mengerjakan Sholat Tahiyyatul Masjid
38. Membaca '' Ya Alloh, Cukupkanlah aku dengan kehalalan-Mu..." 70 Kali Usai Sholat Jum'at
39. Membaca Surat Al-ikhlas 1.000 Kali Pada Hari Jum'at
40. Khatib Selalu Menutub Khutbah Pertama dengan Hadits, " Orang yang bertaubat dari dosa...."
41. Khatib Selalu Mengakhiri Khutbah Kedua Dengan Ucapan " Ingatlah alloh, Niscaya Dia.... "
42. Khatib Membaca Sholawat dengn Suara Lebih keras di Banding bagian Khutbah lainnya
43. Makmum Mengucapkan Sholawat dengan Suara Keras Saat Imam Khutbah

Itulah Sekiranya beberapa masalah kesalan" dan bid'ah yang ada pada masa kini, hmmm Mengapa juga ya orang melakukan itu, padahal Nabi SAW itu ajarannya enak, ealaa... malah ditamba ato dikurangi lagi.. Astaghfirullohal'adziiim....

Kalo Ada Yang Comment, Silahkan.. Insya Alloh saya Reply dengan senang hati/...

Dikutib dari " Abu Ubaidah Al-Walid bin Muhammad " dari Qiblatuna.
email : penerbit_zamzam@yahoo.com

Selasa, 13 September 2011

57 Kesalahan dan Bid'ah Seputar Adzan

Ternyata ADZAN saja banyak yang melakukan KESALAHAN dan BID'AHnya yaa...... contohnya antara lain yaitu ialah, hehehe :


1. Melantunkan Puji-pujian dan Syair Sebelum Adzan Fajar
2. Membaca Al-Quran dengan Pengeras Suara Sebelum Adzan Shubuh
3. Memenggal Lafadz Takbir Dalam Adzan
4. Meliuk-liukkan dan Melagukan Adzan
5. Lahn dalam Adzan
6. Mengumandangkan Adzan Lewat Radio
7. Menambahkan Kata "Sayyidina" dalam Adzan
8. Adzan Secara Berjama'ah dengan Suara Bersamaan
9. Melafadzkan Shalawat Atas Nabi SAW dengan Suara Keras Setelah Adzan
10. Ucapan "Allohu Akbar Wal Izzatu Lillah "dan Semisalnya
11. Menambah-nambah Lafadz Dzikir yang Disyariatkan Setelah Adzan
12. Membaca Al-Quran Antara Adzan dan Iqomah dengan Suara Keras
13. Keyakinan Sebagian Orang Bahwa Siapa yang Adzan maka Dialah yang Iqomah
14. Mengucap Sholawat atas Nabi SAW dengan Keras Sebelum Iqomah
15. Ucapan Sebagian Orang Ketika Mendengar Iqomah " Aamahallohu wa Adamaha "
16. Mengulang Iqomah bila Terjadi Jeda Antara Iqamah Dengan Takbiratul Ihram
17. Keluar dari Masjid Setelah Dikumandangkan Adzan Tanpa Ada Keperluan
18. Membatasi Waktu Antara Adzan dan Iamah
19. Ucapan  Shadaqta Wabarakta " ketika Muadzin Membaca " asshalatu Khoirun Minan Naum "
20. Meyakini Adzannya Orang yang Tidak Berwudhu Tidak Sah
21. Meyakini Adannya Anak Kecil Tidak Sah
22. Meyakini Shalat Tidak Sah Jika Terjadi Kesalahan dalam Adzan atau IIqomah
23. Meletakkan Mushaf Diatas Tanah Ketika Iqomah
24. Membaca Surah Al-Ikhlash Sebelum Iqamah
25. Perkataan Muadzin Antara Adzan dan Iqamah  " Ashalat...Ashalat..." dan Semisalnya
26. Ucapan Muadin " Hayya 'Ala  Khairil 'Amal "
27. Ucapan Muadzin Setelah Adzan, " Radhiyallohu Anka Ya Syaikhal AArab " dan Semisalnya
28. Seruan Shalat Jum'at dengan Dua Adzan
29. Tidak Mengumandangkan Adzan Fajar Awal
30. Nasyid Perpisahan dan Senandung Kesedihan Pada Akhir Ramadhan
31. Orang yang Mendengar Adzan Tidak Menjawab Seperti seruan Muadzin
32. UUcapan Orang " Allohummaj'alna Muflihin " Saat Muadzin Membaca " Hayya 'Alal Fallah "
33. Mencium Dua Ibu Jari Ketika Muadzin Mengucap " Asyhadu Anna Muhammadan Rasululloh "
34. Ucapan Ketika Mendengar Adzan, " Marhabban bil Qa'iliina 'Adlan "
35. Ucapan Setelah Adzan " Allahumma Shalli Afdhala Shalaatin...."
36. Membaca Dzikir Selesai Iqamah Dengan Dzikir Setelah Adzan
37. Ucapan Setelah Iqamah " Na'am Laailaaha Illallah"
38. Muadzin Menyambung Suara Imam, Meskipun Tidak Diperlukan
39. Ucapan Muadzin " Asyhadu Anna 'Aliyyan Waliyullah "
40. Adzan dan Iqamah Dalam Shalat Dua Hari Raya, Shalat Istiqa', Shalar Khusuf (gerhana), dan Shalat Jenazah
41. Adzan dan Iqamah di Kuburan
42. Penggunaan Musik atau Rebana Sebelum Adzan
43. Memulai Adzan dengan Firman Allah " Innallaha Yushalluna 'Alannabi "
44. Membaca Ta'awudz dan Basmalah Sebelum Adzan
45. Ucapan Muadzin setelah Adzan "Ashaaatu wassalamu 'Alaika ya Awwala Khalqillah wa Qathami RRusulihi "
46. Ucapan Muadzin Sebelum Adzan " Waqulil Hamdu Lillahilladi Lam Yattakhidz Waladan "
47. Berdoa Setelah Iqomah Dengan Doa-doa yang tidak Dianjurkan
48. Tidak Mengumandangkan Adzan Ketika Safar
49. Mendahului Muadzin Saat Menirukan Ucapannuya
50. Mengumandangkan Iqama Tanpa Izin Imam
51. Menguandangkan Adzan di Dalam MAsjid
52. Keyakinan Bahwa Orang yang Shalat Sendirian Tidak Perlu Adzan dan Iqamah
53. Terburu-buru Ketika Adzan
54. Tidak Menolehkan kepala Saat Mengucap " Hayya 'Alashalah " dan " Hayya 'alal Fallah "
55. Tidak Meletakkan Dua Jari di Telinga Ketika Adzan
56. Ucapan " Qa'imina Lillah Tha'i'in " Oleh sebagian Orang ketika Iqamah
57. Para Jama'ah Baru Berdiri Ketika Muadzin Mengucapkan " Qadqamatishlah "

Tentunya semua itu dilandaskan pada Contoh hidup As Sunnah Nabi SAW yang kesemuanya tersebut diatas tidak ada dalam kehidupan Muhammad SAW atau Para Sahabat....

Dikutip dari Abu Ubaidah Al-Walid bin Muhammad dengan judul Akhta'ul

Hanya Alloh SWT Yang Maha Benar dengan Segala Firman-Nya
Ya Alloh, Ampunilah Segala kesalahan Pambudi yang diakibatkan ketidaktahuannya mengenai Ilmu-Mu ,,,, Aamiin.

Senin, 12 September 2011

66 Kesalahan Dan Bid'ah Seputar Thaharah ( BERSUCI )

KESALAHAN-KESALAHAN dan BID'AH seputar BERSUCI itu antara lain :

1' Meyakini Air Yang Berubah Sifatnya Karena Sesuatu Bukan Najis Tidak Sah Untuk Wudhu
2. Mengeraskan dan Melafadzkan Niat Ketika Wudhu
3. Tidak Menghadirkan Niat Ketika Wudhu
4. Tidak Membaca Do'a Ketika Masuk WC
5. Istinja' Dengan Tangan Kanan
6. Menyentuh Kemaluan Dengan Tangan Kanan Ketika Kencing
7. Tidak Menggunakan Tabir Ketika Buang Hajat
8. Tidak Bersuci Dari Kencing
9. Buang Hajat di Air Yang Menggenang
10. Meyakini Shalat Orang Yang Bersuci Dengan Batu, Padahal Ada Air Tidak Sah
11. Menghadap Kiblat atau Membelakanginya Ketika Buang Hajat
12. Buang Hajat di Tengah Jalan atau Tempat Berteduh Manusia
13. Istinja' Dengan Kotoran Hewan, Tulang, Benda Najis, atau Kurang dari 3 Batu
14. Berlebihan Menggunakan Air Ketika Istinja' dan Wudhu
15. Mengingkari Orang yang Kencing dengan Berdiri
16. Mencuci Qubul ( Kemaluan ) dan Dubur Setiap Kali Wudhu
17. Mencuci Dubur Karena Hadats ( Buang Angin )
18. Was-was Mengenai Batalnya Thaharah
19. Meyakini Wajib Wudhu UsaiBerhadats, Meski Tidak Ingin Mengerjakan Shalat
20. Dzikir-dzikir Bid'ah yang Dibaca Pada Awal, Tengah, dan Akhir Wudlu
21. Meninggalkan Salah Satu Rukun Wudhu Tanpa ada Udzur Syar'i
22. Memisahkan Antara Berkumur dan Istinsyaq ( Menghirup Air Lalu Menyemburkannya )
23. Tidak Menggeser Cincin atau Jam Tangan Ketika Wudhu
24. Keyakinan Makruhnya Berbicara Ketika Berwudhu
25. Mengusap Leher Ketika Berwudhu
26. Air Tidak Sampai ke Kedua Telapak Tangan Ketika Membasuh Kedua Tangan
27. Mencukupkan Hanya dengan Mengusap Sebagian Kepala
28. Keyakinan Wajibnya Wudhu Setiap Kali Shalat, Meski Tanpa Berhadats
29. Ucapan "ZAM-ZAM" seseorang Kepada Temannya yang Sedang Berwudhu
30. Memasukkan Kedua Tangan Kedalam Air Wudhu Ketika Bangun Tidur
31. Membasuh Anggota Wudhu Lebih Dari 3 Kali
32. Keyakinan Bahwa Wudhu Tidak Mencukupi Kecuali Membasuh Anggota Wudhu 3 Kali
33. Tidak Wudhu Setelah Makan Daging Unta
34. Tidak Berwudhu Karena Menyentuh Kemaluan
35. Keyakinan Bahwa Keluarnya Darah Membatalkan Wudhu
36. Keyakinan Bahwa Muntah Dapat Membatalkan Wudhu
37. Bertayamum Saat ada Air
38. Mengulang Wudhu bagi Orang Yang Terkena Najis
39. Mengulang Wudhu setelah Mencukur Rambut Kepala
40. Seorang Ibu Mengulang Wudhunya Bila Menyentuh Aurat Bayinya
41. Mengulang wudhu Tanpa Diselingi Shalat
42. Keyakinan Bahwa Mengusap Sepatu Tidak Sah Kecuali Pada Musim Dingin
43. Mengusap Perban
44. Mengusap Sepatu Lebih Dari Sekali Usap
45. Meremehkan Dalam Membasuh Tumit
46. Menyalahkan Orang Yang Mengeringkan Anggota Wudhu Setelah Berwudlu
47. Keyakinan Bahwa Menyentuh Perempuan Membatalkan Wudhu
48. Meninggalkan Shalat Karena Tidak Ada Air
49. Meninggalkan Shalat Karena Tidak Ada Dua Alat Bersuci, Yaitu Air Dan Tanah
50. Enggan Berwudhu Dengan AirZam -Zam, Malah Bertayamum Sebagai Gantinya
51. Keyakinan Bahwa Tayamum itu dengan 2 Kali Tepukan ke Tanah
52. Keyakinan Bahwa Seseorang yang Bertayamum Hanya Untuk Satu Kali Shalat
53. Tidak Meratakan Air di Seluruh Tubuh Ketika Mandi
54. Asumsi Sebagian Orang Bahwa Junub Membuat Najis Orang Lain
55. Wudhu Sesudah Mandi Junub
56. Tidak Menggunakan Tabir Ketika Mandi
57. Meyakini Bahwa Perempuan Wajib Mengurai Rambutnya Ketika Mandi Junub
58. Tidak Mandi Karena Jimak Bila Tidak Mengeluarkan Mani ( Orgasme )
59. Mandi Karena Mengeluarkan Madzi dan Wadi
60. Mencuci Bagian Dalam Kemaluan
61. Menarik-narik Kemaluan, Mengurutnya, Berdehem, dan Semisalnya
62. Mencuci Bagian Dalam Kedua Mata Ketika Berwudhu
63. Tidak Mandi Jum'at
64. Menunda Mandi Haidh
65. Wanita Nifas Meninggalkan Shalat dan Puasa Selama 40 Hari, Padahal ia Telah Suci
66. Tetap Shalat dan Puasa Seama Haidh dan Nifas

Itulah YANG AKU TAHU tentang kesalahan dalam bersuci, tentunya ada alasannya dan landasannya juga ...

"""dikutip dari terjemahan Abu Ubaidah Al-Walid bin Muhammad""" dari Sunnah Muhammad S.A.W.